Kamis, 27 Agustus 2015

Perang Mata Uang Global: Bagaimana Nasib Rupiah?

Oleh: R. Dimas Bagas Herlambang (041411131041)

            Indonesia saat ini sedang dilanda sebuah fenomena ekonomi, yang seperti layaknya fenomena ekonomi lain, selalu menimbulkan berbagai argumen tentang bagaimana cara menyikapinya. Hingga saat artikel ini ditulis, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah mencapai Rp13.826,90 per USD. Jika menengok ke belakang, posisi ini adalah yang terendah sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998, dengan nilai tukar rupiah berada pada level Rp16.650,00 per USD. Namun, fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Mengapa hal ini bisa terjadi?
            Berbeda dengan anggapan masyarakat umum yang menyalahkan pemerintah sebagai penyebab jatuhnya nilai rupiah, sebenarnya fenomena ekonomi global ini terjadi karena kebijakan ekonomi Tiongkok untuk melemahkan mata uangnya, Yuan; memang sebelum terjadi reformasi Yuan sudah terjadi pelemahan akibat kebijakan moneter Amerika, tetapi masih dalam konteks non-krisis. Pemerintah Tiongkok sengaja mendevaluasi mata uangnya melalui reformasi Yuan, dengan tujuan meningkatkan eksport. Menurut Markus Rodlauer, kepala delegasi IMF untuk Tiongkok, reformasi ini memungkinkan nilai Yuan untuk bergerak pada gap 10 persen dalam seminggu, dan ditutup pada rate yang mendekati nilai yang seharusnya dihasilkan oleh mekanisme pasar[i]. Langkah intervensi ini sengaja diambil pemerintah Tiongkok akibat pertumbuhan ekonomi mereka yang terus menurun. Adapun beberapa pihak menganggap Tiongkok mempunyai motif lain, yaitu usaha untuk memasukkan Yuan dalam grup SDR (Special Drawing Right) milik IMF. Dengan mendongkrak ekspor melalui devaluasi, pemerintah Tiongkok diindikasikan berharap Yuan akan lebih banyak digunakan dalam pasar dunia, sehingga IMF akan mempertimbangkan Yuan untuk masuk ke dalam SDR[ii].
            Mengingat posisi Tiongkok sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia, langkah yang mereka ambil jelas sangat berpengaruh terhadap perekonomian global. Tercatat beberapa negara sudah terang-terangan menyikapi reformasi Yuan dengan ikut mendevaluasi mata uangnya, yaitu Kazakhstan yang telah mendevaluasi mata uangnya dari semula KZT 200 per USD menjadi KZT 252 per USD, serta diikuti beberapa negara lain seperti Vietnam, Afrika Selatan, Turki, dan Korea Selatan yang berpotensi untuk mengambil langkah yang sama. Langkah ini terpaksa diambil oleh beberapa negara tersebut agar menstabilkan kembali ekspor mereka, terutama untuk komoditi yang biasa mereka ekspor ke Tiongkok [iii]. Keinginan untuk “berlomba-lomba” mendevaluasi mata uang negara masing-masing inilah yang disebut dengan Global Currency War.
            Kondisi perekonomian dalam negeri juga tidak dapat terlepas dari efek “perang dunia” ini. Asumsi utama penyebab rupiah terus menerus melemah adalah capital flights, yaitu keluarnya aset dan uang dari dalam negeri akibat ketidakpercayaan terhadap perekonomian negara tersebut. Seperti yang kita ketahui, sejak rupiah mulai menurun, respon masyarakat justru menganggap bahwa ini adalah kegagalan pemerintah. Secara tidak langsung ini menimbulkan anggapan bahwa pemerintah Indonesia tidak siap dalam menghadapi Global Currency War, sehingga investor justru cenderung untuk menarik asetnya dari Indonesia dan menukarkan rupiah dengan mata uang yang lebih terjamin. Untuk proses selengkapnya dapat dilihat dalam grafik berikut:



Gambar 1 Grafik Net Capital Outflow (diadaptasi dari: http://www.policonomics.com/loanable-funds/)

Selaras dengan asumsi tersebut, Darmin Nasution, Menko Perekonomian yang baru, mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun umumnya menjadi momentum pengiriman deviden perusahaan ke luar negeri, sehingga akan menambah aliran dana keluar[iv].
            Jika memang devaluasi tidak dapat dihindari, lalu bagaimana strategi Indonesia dalam menghadapi Global Currency War? Tentunya ada banyak instrumen yang dapat diterapkan pemerintah dan Bank Indonesia, seperti anggaran defisit pemerintah dan pengaturan ekspor impor (untuk bacaan lebih lanjut silahkan lihat http://www.policonomics.com/loanable-funds/). Namun instrumen-instrumen tersebut hanya akan akan mendongkrak nilai tukar rupiah, kestabilan ekonomi masih akan ditentukan oleh kepercayaan pelaku bisnis terhadap Indonesia dalam menghadapi krisis ini. Jadi sebagai langkah yang nyata, kita selaku masyarakat sebaiknya harus mulai mempercayai kekuatan pemerintah dalam menghadapi krisis ini, karena jika hanya bisa mengeluh justru kita yang akan memperburuk keadaan... :)




[i] CNBC. (2015, 15 Agustus). IMF: Yuan reforms may bring China 'quite close' to floating rate. Diakses pada 25 Agustus 2015. http://www.cnbc.com/2015/08/15/imf-yuan-reforms-may-bring-china-quite-close-to-floating-rate.html
[ii] The Telegraph. (2015, 22 Agustus). Global Currency Wars: Why China's Devaluation is a Peace Offering Misunderstood by the World. Diakses pada 25 Agustus 2015. http://www.telegraph.co.uk/finance/economics/11813076/Global-currency-wars-why-Chinas-devaluation-is-a-peace-offering-misunderstood-by-the-world.html
[iii] BI Jangan Panik Jaga Kurs Rupiah. Jawa Pos 24 Agustus 2015; hal. 15.
[iv] Ibid.

0 comments:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak dan bertanggung jawab.

Salam, Admin.