Sistem Ekonomi Islam
Hubungan 3 Aspek: Zakat, (Anti) Riba dan (Anti) Judi
Sebuah Sistem Pendorong Investasi
Tak dapat dipungkiri, fenomena kebangkitan ekonomi Islam –setidaknya wacana pemikiran- telah berlangsung dalam suasana yang begitu “welcome” dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian konsentrasi pemahaman ekonomi Islam yang masih terfokus pada eksplorasi nilai norma & etika, variasi akad muamalat serta kehalalan materi & objek muamalat, tampaknya masih belum dapat menjawab kebutuhan ekonomi negara (makro) untuk menjawab persoalan ekonomi : bagaimana menggerakan perekonomian untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dalam tingkat yang diharapkan serta berkelanjutan..
Dalam sistem Ekonomi Islam, setidaknya terdapat 3 elemen dasar yang memainkan peranan penting dalam upaya menggerakkan (menghidupkan) suatu perekonomian. Ketiga elemen tersebut yaitu : Zakat, (anti) Riba dan (anti) Judi, dimana ketiga elemen dasar ini saling bekerjasama melalui esensinya masing-masing.
ZAKAT
Dalam pemahaman dominan, instrument zakat adalah alat untuk mengumpulkan sekaligus mendistribusikan dana sosial. Pemahaman ini telah membentuk persepsi publik yang menyatakan bahwa zakat merupakan fungsi sosial dengan parameter efektivitasnya terletak pada sejauh mana dana sosial tersebut berhasil dikumpulkan, dikelola serta didistribusikan. Dalam pemahaman ini, maka tingkat kepuasan public (ummat) dalam melakukan ibadah zakat akan ditentukan oleh dinamika pengelolaan serta pendistribusian dana sosial yang dilakukan oleh pihak pengelola zakat. Dalam hal ini, menjadi tidak mengherankan apabila dalam dasawarsa terakhir telah bermunculan berbagai lembaga profesional pengelola (dana) zakat sebagai jawaban dari harapan kepuasan public tersebut.
Dalam pemahaman lebih jauh, zakat tidak hanya dipahami sebagai suatu fungsi sosial semata. Zakat memiliki fungsi lain yang jauh lebih besar di samping fungsi sosial yang telah dipahami secara luas. Fungsi yang lebih besar tersebut tak lain adalah fungsi yang memberikan disinsentif kepada masyarakat pemegang/penumpuk harta dalam bentuk apapun. Disinsentif ini pada dasarnya adalah suatu pemberian hukuman (penalti) yang diharapkan akan mempengaruhi masyarakat pemegang harta untuk mengurangi kecenderungan penumpukan hartanya, dimana pada tahap selanjutnya diharapkan akan terjadi pergeseran atau perubahan harta menjadi modal usaha (investasi). Dalam pemahaman ini, zakat lebih dipandang sebagai instrumen pengendali atas kecenderungan fitrah manusia yang mencintai harta (QS. 3 : 14), sedangkan terkumpulnya dana sosial (fungsi social) lebih merupakan dampak dari upaya sistem zakat untuk melakukan pengendalian dimaksud. Dengan demikian, dalam pemahaman ini, parameter efektivitas zakat, bukan hanya terletak pada sejauh mana dana sosial dapat dikumpulkan, dikelola dan didistribusikan (sesuai pemahaman dominan), akan tetapi lebih jauh serta lebih esensiil adalah sejauh mana kecenderungan fitrah manusia dalam mencintai harta dapat dikendalikan, dalam hal ini yaitu adanya perubahan/pergeseran kecenderungan memegang harta menjadi kecenderungan untuk berinvestasi (harta menjadi modal usaha). Secara teknis, upaya pengendalian melalui instrumen zakat ini dilakukan dalam 2 cara yaitu pengendalian atas harta (bersifat kuratif) serta pengendalian atas penghasilan (bersifat preventif). Keduanya bergerak secara simultan untuk menghasilkan efek disinsentif secara optimal.
Upaya pengendalian kecenderungan manusia (public) dalam hal mendorong adanya perubahan harta menjadi investasi inilah yang merupakan esensi dasar zakat. Dalam perspektif ekonomi, esensi zakat inilah yang ditawarkan Islam untuk dijadikan motor penggerak dalam mendorong investasi (I) untuk menghidupkan perekonomian. Sebagai perbandingan, dalam sistem ekonomi yang menggunakan instrumen bunga, keberadaan bunga merupakan satu faktor yang sangat diandalkan untuk mempengaruhi mengalirnya uang menuju investasi. Pertama-tama, suku bunga tabungan akan menstimulir masyarakat untuk menabung di bank. Selanjutnya suku bunga kredit akan menyeleksi investasi mana saja yang layak untuk diberi kredit sehingga roda perekonomian menjadi bergerak. Sayangnya mekanisme penggunaan suku bunga ini memiliki dampak yang sangat buruk yaitu tertutupnya seluruh kemungkinan investasi yang memiliki return di bawah tingkat suku bunga dimana volume kemungkinan terjadinya investasi adalah berbanding terbalik dengan tingkat return. Semakin tinggi tingkat return maka semakin mengecil volume kemungkinan terjadinya investasi, dan sebaliknya. Artinya : sungguh mahal cost yang harus dibayarkan atas digunakannya mekanisme bunga ini.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa mekanisme “dorongan” yang ditawarkan zakat untuk menghidupkan perekonomian merupakan jawaban esensial pengganti atas mekanisme “tarikan” yang selama ini dilakukan melalui instrumen bunga untuk menggerakkan perekonomian.
Dalam potret secara keseluruhan, efek multiplier dari distribusi (spending) dana social merupakan satu aspek yang juga ikut serta dalam upaya menggerakan atau menghidupkan perekonomian. Untuk itu, instrumen zakat memberikan 2 efek dalam upaya menghidupkan perekonomian yaitu yaitu pertama, mendorong timbulnya investasi dengan cara mendorong penumpukan harta agar berubah menjadi investasi, kedua, efek multiplier dari distribusi (spending) dana social.
ANTI RIBA
Secara umum riba diartikan sebagai tambahan yang diambil atas harta pokok atau modal secara batil. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud secara batil adalah menggunakan cara-cara pemastian dan tidak melalui kegiatan yang halal seperti kegiatan jual-beli, sewa-menyewa, dsb yang tidak bersifat memastikan dalam hal memperoleh tambahan (keuntungan) dimaksud. Dengan memahami sifat pemastian (tambahan atau keuntungan) inilah selanjutnya dapat dimengerti apabila riba dipandang sebagai sesuatu hal yang bersifat eksploitatif serta tidak memenuhi rasa keadilan, karena selalu menuntut adanya pemastian keuntungan tanpa mengenal adanya kerugian.
Dalam pemahaman lebih jauh, sifat pemastian dari riba ini, telah memberikan dampak buruk lainnya, disamping eksploitatif dan rasa ketidak-adilan. Hal ini dapat dicermati dalam QS.2 : 275 yang merupakan wahyu terakhir mengenai riba, yang menyatakan bahwa “… ALLAH telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba “. Dalam ayat ini, disamping merupakan penegasan akan haramnya riba, ayat ini juga memperlihatkan hubungan esensil antara jual-beli atau investasi (I) dengan keberadaan riba yang dalam hal ini diwakili oleh praktek penggunaan suku bunga (i). Hubungan itu diperlihatkan dengan mencermati posisi sifat dari jual-beli yaitu nhalal dengan posisi sifat dari riba yaitu haram. Dengan memahami bahwa sifat halal adalah berlawanan dengan sifat haram, maka apabila jual beli bersifat halal dan riba bersifat haram, maka posisi jual-beli (I) adalah juga berlawanan dengan posisi riba (i). Dalam hubungan kausalitas, dikatakan keduanya memiliki hubungan berbanding terbalik yang berimplikasi semakin tinggi tingkat riba / suku bunga (i) maka akan semakin rendah kemungkinan jual-beli / investasi (I) yang dapat dilakukan, dan sebaliknya. Begitulah makna yang tersembunyi dari ayat Quran mengenai riba tersebut yang telah disampaikan Islam 15 abad yang lalu, yang mana kemudian hubungan kausalitas ini menjadi salah satu materi dasar pengajaran ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas.
Dengan demikian, dalam konteks memahami sistem, pelarangan riba dalam segala bentuknya yang terus berkembang seiring dengan kemajuan peradaban manusia, dapat dipahami sebagai upaya untuk menghapus segala bentuk pemastian, dimana dalam perspektif ekonomi hal ini akan berdampak pada terbukanya secara optimal seluruh kemungkinan investasi yang pada gilirannya diharapkan akan mengoptimalkan realisasi investasi yang akan menggerakkan perekonomian. Atau secara sederhana, pelarangan riba akan berdampak positif terhadap perekonomian yaitu akan mengoptimalkan aktivitas investasi di masyarakat. Selengkapnya alur logika efek pelarangan riba terhadap peningkatan investasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
ANTI JUDI (MAISIR)
Secara umum larangan judi atau maisir dipahami sebagai larangan untuk melakukan kegiatan yang untung-untungan atau spekulatif. Dijelaskan kemudian, arti dari spekulatif di sini adalah tatkala kegiatan untung-untungan yang dilakukan tidak didasarkan kepada rencana yang matang atau perhitungan yang logis. Konsekuensi logisnya adalah dalam pemahaman ini kegiatan investasi atau jual beli yang tidak berdasarkan perencanaan atau perhitungan yang matang serta logis, dapat dipandang sebagai kegiatan judi atau maisir. Dalam wacana lebih jauh, diskursus mengenai judi difokuskan kepada ada tidaknya modal yang dikeluarkan oleh seseorang untuk menetapkan apakah sesuatu dapat dianggap sebagai judi atau tidak. Wacana ini dipandang perlu untuk menjawab berbagai pertanyaan masyarakat mengenai undian yang sering dilakukan berbagai produsen atau penjual untuk menarik minat konsumsi masyarakat.
Dalam konteks pencarian makna judi atau maisir dalam persepsi sistem ekonomi, pemahaman judi atau maisir dicoba untuk diselami dari efeknya terhadap perekonomian itu sendiri. Diawali dengan memahami bahwa pelarangan penimbunan barang dalam Islam terkait dengan menghilangnya barang di masyarakat atau dalam bahasa akademis sering disebut sebagai terjadinya penurunan supply barang dan jasa. Secara implisit dapat diartikan bahwa Islam mendorong aktivitas yang berdampak pada peningkatan supply barang & jasa. Itulah sebabnya mengapa jual-beli begitu didorong dalam Islam karena memiliki dampak pada peningkatan supply barang & jasa, disamping aspek upaya memperoleh keuntungan atau penghasilan. Secara praktis, dapat dikatakan Islam menghendaki aktivitas yang meningkatkan supply barang & jasa serta tidak menghendaki aktivitas yang menurunkan supply barang & jasa.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut di atas, maka selanjutnya pemahaman mengenai pelarangan judi atau maisir dari sisi dampak ekonominya, dapat dilakukan. Secara teknis, analisa dampak buruk judi terhadap perekonomian, dilakukan dengan cara membandingkan aktivitas judi dengan jual beli dalam tiga aspek yaitu perlunya modal, sifat kegiatan serta dampak terhadap peningkatan supply barang & jasa.
Aspek Jual Beli Judi
Memerlukan modal Ya Ya
Tidak Pasti / Untung2-an Ya Ya
Ditujukan utk meningkatkan
supply brg dan jasa ?
(terkait langsung dgn sektor riil ?)
Ya
Tidak
Dari tabel di atas, dapat dicermati sekaligus disimpulkan beberapa hal yaitu :
1. Baik jual-beli maupun judi memerlukan modal ataupun sejumlah nilai harta yang akan dipertaruhkan untuk mendapatkan keuntungan.
2. Baik jual-beli maupun judi bersifat untung-untungan (spekulatif) karena keduanya belum pasti memperoleh keuntungan. Dari pemahaman ini, dapat diartikan bahwa kemungkinan besar bukan aspek untung-untungan (spekulatif) yang menyebabkan judi dilarang dalam Islam.
3. Kegiatan jual-beli / investasi, akan memberikan dampak langsung pada (rencana) peningkatan supply barang & jasa, sedangkan kegiatan judi sama sekali tidak ditujukan untuk meningkatkan supply barang & jasa. Tampaknya aspek inilah yang menjadi pembeda antara jual-beli dan judi, sekaligus yang menuntun kesadaran dan pemahanan atas dilarangnya kegiatan judi atau maisir. Menjadi jelas kini bahwa kegiatan judi atau maisir yang tidak meningkatkan supply barang dan jasa adalah sama buruknya dengan kegiatan penimbunan barang yang berdampak pada penurunan supply barang & jasa.
4. Secara keseluruhan, tabel perbandingan inipun menyiratkan satu pesan moral yaitu harus adanya manfaat atas adanya kegiatan investasi (memerlukan modal) atau upaya agar kegiatan investasi menjadi tidak sia-sia (tidak memberikan manfaat).
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa larangan judi atau maisir dalam konteks memahami sistem adalah larangan atas terjadinya kegiatan investasi yang tidak ditujukan untuk meningkatkan supply barang & jasa, atau merupakan upaya agar setiap kegiatan investasi harus ditujukan untuk memberikan manfaat (melalui peningkatan supply barang & jasa) untuk masyarakat. Apabila pemahaman ini dapat disadari lebih awal, tentu saja fenomena bublle economic dalam dasawarsa tahun 90-an bukan merupakan hal yang mengherankan dalam wacana ekonomi Islam.
RANGKAIAN SISTEMIK
Dengan memahami secara jernih beberapa elemen dasar ekonomi Islam yaitu zakat, (anti) riba dan (anti) judi/maisir, maka selanjutnya ekonomi Islam dapat dengan mudah dipahami dalam konteks sistem yang secara khusus merupakan sistem yang mendorong kegiatan investasi dalam rangka menghidupkan perekonomian. Rangkaian sistemik tersebut adalah sebagai berikut :
Penumpukan harta masyarakat dikendalikan melalui instrumen zakat dengan cara diberi disinsentif berupa hukuman membayar penalti (denda), dengan harapan agar terjadi perubahan kecenderungan masyarakat dari menumpuk harta menjadi melakukan kegiatan investasi.
Selanjutnya kecenderungan investasi masyarakat tersebut diakomodasi dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya optimalisasi realisasi investasi melalui pelarangan pemastian (riba atau bunga). Hal ini dimaksudkan agar kecenderungan investasi masyarakat (potensi investasi), dengan melalui lingkungan yang serba tidak pasti (anti riba), diharapkan dapat menghasilkan realisasi investasi yang optimal (ingat hubungan kausalitas antara investasi dan suku bunga).
Selanjutnya, realisasi investasi yang optimal dimaksud harus ditujukan untuk sebaik-baiknya maslahat bagi masyarakat. Dalam hal ini, realisasi investasi yang terjadi harus ditujukan untuk dapat meningkatkan supply barang & jasa kepada masyarakat. Untuk itu, pelarangan judi atau maisir harus dilakukan, yaitu upaya pelarangan investasi yang tifak ditujukan untuk meningkatkan supply barang & jasa.
Mekanisme dalam sistem ekonomi Islam di atas yaitu dorongan investasi (oleh zakat) yang diupayakan agar realisasi investasinya dapat optimal (oleh anti riba) serta agar realisasi investasi yang optimal tersebut dapat secara optimal meningkatkan supply barang & jasa (oleh anti judi atau maisir), dapat ditemukan pula pada mekanisme kehidupan di luar kehidupan ekonomi. Salah satunya yaitu pada mekanisme kehidupan tubuh manusia. Mekanisme zakat yang berfungsi mendorong investasi dapat ditemukan pada mekanisme jantung yang mendorong atau memompa darah agar mengalir ke seluruh tubuh. Mekanisme anti riba yang menginginkan terjadinya optimalisasi aliran investasi juga dapat ditemukan pada mekanisme aliran darah yang tidak menghendaki ketersumbatan oleh apapun. Begitu pula, mekanisme anti judi yang menghendaki adnya manfaat optimal dari aliran investasi, dalam mekanisme tubuh manusia aliran darahpun diharapkan dapat memberikan manfaat optimal berupa terbawanya oksigen, sari makanan maupun zat-zat lain yang diperlukan oleh tubuh manausia. Kedua mekanisme yang secara esensi sama tersebut telah memberikan dampak yang sama yaitu munculnya kehidupan.
Dengan memahami mekanisme sistem ekonomi Islam serta persamaannya dengan mekanisme dalam tubuh manusia, maka tidak hanya akidah manusia yang mendapat pencerahan bahwa kesamaan mekanisme merupakan salah satu tanda kekuasaanNYA yang menunjukkan kesamaan sumber Pencipta atas kedua mekanisme yang sama dimaksud, namun juga pencerahan bagi pemahaman manusia, yaitu apabila memang mekanisme ini berasal dariNYA, maka salah satu wacana pemahaman sistem ekonomi Islam berupa pemahaman mekanisme dorongan investasi (oleh zakat) yang diupayakan agar realisasi investasinya dapat optimal (oleh anti riba) serta agar realisasi investasi yang optimal tersebut dapat secara optimal meningkatkan supply barang & jasa (oleh anti judi atau maisir), merupakan wacana sunnatullah (hukum alam) yang telah ditetapkanNYA untuk menghidupkan perekonomian manusia.
KESIMPULAN
Dengan memahami hal-hal yang telah dipaparkan tersebut di atas, maka menjadi jelas bahwa sistem ekonomi Islam merupakan suatu sistem yang mendorong terjadinya investasi secara optimal sekaligus bermanfaat (produktif). Dan dengan memahami bahwa mekanisme sistem yang diharapkan terjadi dalam kehidupan ekonomi ternyata telah terimplementasikan secara built-in dalam tubuh manusia pada kehidupan sehari-hari, maka mekanisme ini dapat dipandang sebagai mekanisme sunnatullah (hukum alam) yang telah ditetapkanNYA, dimana manusia diharapkan dapat mempelajari, merenungkan, merangkaikan serta menerapkannya dalam kehidupan manusia dalam alam semestaNYA ini. Dan oleh karena mekanisme ini merupakan hukum alam, maka mekanisme ini dapat berjalan secara efektif dalam komunitas manapun tanpa melihat agama, suku, afiliasi politik apapun yang dianut oleh masyarakat tersebut. Sepanjang dalam masyarakat tersebut diberlakukan pengendalian atas harta, pelarangan pemastian serta pelarangan kegiatan investasi yang tidak produktif atau tidak bermanfaat, maka mekanisme hukum alam sistem ekonomi Islam akan tetap bekerja untuk menggerakkan perekonomian. Bukankah Islam adalah rahmatan lil ’alamin ?
Untuk itu, upaya menggerakkan atau menghidupkan perekonomian di manapun, termasuk di Indonesia, sudah semestinya kembali ke hukum alam (sunnatullah) yang memang telah disiapkanNYA. Pertama, adakanlah sistem yang mengendalikan harta dalam segala bentuk untuk mendorong investasi. Kedua, laranglah pemastian (riba) dalam segala bentuknya untuk mengoptimalkan realisasi investasi. Ketiga, laranglah semua kegiatan investasi yang tidak ditujukan untuk meningkatkan supply barang & jasa dalam rangka untuk optimalisasi maslahat bersama.
Read more…