Oleh: R. Dimas Bagas Herlambang
(041411131041)
Indonesia saat ini sedang dilanda
sebuah fenomena ekonomi, yang seperti layaknya fenomena ekonomi lain, selalu
menimbulkan berbagai argumen tentang bagaimana cara menyikapinya. Hingga saat
artikel ini ditulis, nilai tukar rupiah terhadap dolar telah mencapai
Rp13.826,90 per USD. Jika menengok ke belakang, posisi ini adalah yang terendah
sejak krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1998, dengan nilai tukar
rupiah berada pada level Rp16.650,00 per USD. Namun, fenomena ini ternyata
tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Mengapa hal ini
bisa terjadi?
Berbeda dengan anggapan masyarakat
umum yang menyalahkan pemerintah sebagai penyebab jatuhnya nilai rupiah,
sebenarnya fenomena ekonomi global ini terjadi karena kebijakan ekonomi
Tiongkok untuk melemahkan mata uangnya, Yuan; memang sebelum terjadi reformasi
Yuan sudah terjadi pelemahan akibat kebijakan moneter Amerika, tetapi masih
dalam konteks non-krisis. Pemerintah Tiongkok sengaja mendevaluasi mata uangnya
melalui reformasi Yuan, dengan tujuan meningkatkan eksport. Menurut Markus
Rodlauer, kepala delegasi IMF untuk Tiongkok, reformasi ini memungkinkan nilai
Yuan untuk bergerak pada gap 10
persen dalam seminggu, dan ditutup pada rate
yang mendekati nilai yang seharusnya dihasilkan oleh mekanisme pasar[i]. Langkah intervensi ini
sengaja diambil pemerintah Tiongkok akibat pertumbuhan ekonomi mereka yang
terus menurun. Adapun beberapa pihak menganggap Tiongkok mempunyai motif lain,
yaitu usaha untuk memasukkan Yuan dalam grup SDR (Special Drawing Right) milik IMF. Dengan mendongkrak ekspor melalui
devaluasi, pemerintah Tiongkok diindikasikan berharap Yuan akan lebih banyak
digunakan dalam pasar dunia, sehingga IMF akan mempertimbangkan Yuan untuk
masuk ke dalam SDR[ii].
Mengingat posisi Tiongkok sebagai
perekonomian terbesar kedua di dunia, langkah yang mereka ambil jelas sangat
berpengaruh terhadap perekonomian global. Tercatat beberapa negara sudah terang-terangan
menyikapi reformasi Yuan dengan ikut mendevaluasi mata uangnya, yaitu
Kazakhstan yang telah mendevaluasi mata uangnya dari semula KZT 200 per USD
menjadi KZT 252 per USD, serta diikuti beberapa negara lain seperti Vietnam,
Afrika Selatan, Turki, dan Korea Selatan yang berpotensi untuk mengambil
langkah yang sama. Langkah ini terpaksa diambil oleh beberapa negara tersebut
agar menstabilkan kembali ekspor mereka, terutama untuk komoditi yang biasa
mereka ekspor ke Tiongkok [iii].
Keinginan untuk “berlomba-lomba” mendevaluasi mata uang negara masing-masing
inilah yang disebut dengan Global
Currency War.
Kondisi perekonomian dalam negeri
juga tidak dapat terlepas dari efek “perang dunia” ini. Asumsi utama penyebab
rupiah terus menerus melemah adalah capital
flights, yaitu keluarnya aset dan uang dari dalam negeri akibat
ketidakpercayaan terhadap perekonomian negara tersebut. Seperti yang kita
ketahui, sejak rupiah mulai menurun, respon masyarakat justru menganggap bahwa
ini adalah kegagalan pemerintah. Secara tidak langsung ini menimbulkan anggapan
bahwa pemerintah Indonesia tidak siap dalam menghadapi Global Currency War, sehingga investor justru cenderung untuk
menarik asetnya dari Indonesia dan menukarkan rupiah dengan mata uang yang
lebih terjamin. Untuk proses selengkapnya dapat dilihat dalam grafik berikut:
Gambar 1
Grafik Net Capital Outflow (diadaptasi dari:
http://www.policonomics.com/loanable-funds/)
Selaras
dengan asumsi tersebut, Darmin Nasution, Menko Perekonomian yang baru, mengungkapkan
bahwa pada pertengahan tahun umumnya menjadi momentum pengiriman deviden
perusahaan ke luar negeri, sehingga akan menambah aliran dana keluar[iv].
Jika memang devaluasi tidak dapat
dihindari, lalu bagaimana strategi Indonesia dalam menghadapi Global Currency War? Tentunya ada banyak
instrumen yang dapat diterapkan pemerintah dan Bank Indonesia, seperti anggaran
defisit pemerintah dan pengaturan ekspor impor (untuk bacaan lebih lanjut
silahkan lihat http://www.policonomics.com/loanable-funds/). Namun
instrumen-instrumen tersebut hanya akan akan mendongkrak nilai tukar rupiah,
kestabilan ekonomi masih akan ditentukan oleh kepercayaan pelaku bisnis
terhadap Indonesia dalam menghadapi krisis ini. Jadi sebagai langkah yang
nyata, kita selaku masyarakat sebaiknya harus mulai mempercayai kekuatan
pemerintah dalam menghadapi krisis ini, karena jika hanya bisa mengeluh justru
kita yang akan memperburuk keadaan... :)
[i]
CNBC. (2015, 15 Agustus). IMF: Yuan
reforms may bring China 'quite close' to floating rate. Diakses pada 25
Agustus 2015. http://www.cnbc.com/2015/08/15/imf-yuan-reforms-may-bring-china-quite-close-to-floating-rate.html
[ii]
The Telegraph. (2015, 22 Agustus). Global
Currency Wars: Why China's Devaluation is a Peace Offering Misunderstood by the
World. Diakses pada 25 Agustus 2015. http://www.telegraph.co.uk/finance/economics/11813076/Global-currency-wars-why-Chinas-devaluation-is-a-peace-offering-misunderstood-by-the-world.html
[iii]
BI Jangan Panik Jaga Kurs Rupiah. Jawa Pos 24 Agustus 2015; hal. 15.
[iv]
Ibid.