Jumat, 15 Mei 2015

Menyikapi Kenaikan Harga BBM (Buletin April 2015)

Pemerintah telah kembali memutuskan harga baru bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan solar pada Sabtu (28/3) yang masing-masing naik Rp 500 per liter. Harga BBM di Jawa-Madura-Bali untuk Premium RON 88 naik dari Rp 6.900 per liter menjadi Rp 7.400 per liter. Sementara itu, di luar Jawa-Madura-Bali Premium naik dari Rp 6.800 per liter menjadi Rp 7.300 per liter. Solar di seluruh Indonesia harganya sama, naik menjadi Rp 6.900 per liter. Harga baru itu berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM yang telah diubah dengan Permen ESDM No 4/2015.

Isi dari peraturan baru tersebut secara garis besar adalah mengubah harga BBM sesuai dengan harga minyak dunia yang berlaku. Dalam penentuan harga tersebut akan dilaksanakan setiap bulannya, bahkan bisa lebih satu kali mengubah harga dalam satu bulan tersebut tergantung dengan situasi harga minyak dunia. Hal ini yang mambuat BBM akan berubah harganya dengan frekuensi yang sering dan dalam jangka waktu yang pendek.

Banyak kalangan ekonomi menilai kebijakan menaikkan harga BBM sesungguhnya tidak lain adalah untuk menyukseskan liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi), setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) sempurna dilakukan. Liberalisasi migas, yakni penguasaan yang lebih besar kepada swasta asing dan pengurangan peran negara. Kebijakan seperti ini jelas akan sangat merugikan rakyat.

Secara ekonomi, dampak yang terjadi akibat kenaikan BBM ini adalah naiknya harga-harga lain, seperti kebutuhan pokok, biaya transportasi, dan sebagainya. Bagi individu, naiknya BBM akan membuat tabungan (saving) yang biasa dilakukan berkurang, mengingat betapa pentingnya peran BBM dalam transportasi Indonesia sehari-hari. Selain itu, Kenaikan harga BBM juga akan memicu SPBU-SPBU asing untuk siap bersaing dan bergairah kembali di Indonesia yang sebelumnya lesu, contohnya Petronas, Shell, dan Total. Hingga saat ini sudah ada 40 perusahaan asing yang memegang izin prinsip pendirian stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Setiap perusahaan memiliki hak mendirikan 20.000 SPBU. Artinya, sejumlah 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Asing akan menguasai seluruh produksi Indonesia dari hulu ke hilir (Baswir, 2014).

Mengapa selalu subsidi BBM yang menjadi target?

Seiring dengan laju perekonomian yang pesat di Indonesia menyebabkannya naiknya pula konsumsi BBM hariannya. Hal ini membuat jebolnya kuota subsidi BBM pemerintah. Melakukan pengurangan subsidi BBM memang salah satu keputusan yang benar, namun apakah kita pernah bertanya mengapa hanya subsidi BBM yang menjadi “kambing hitam” yang selalu dipermasalahkan untuk dikurangi, atau bahkan sampai dicabut? Apabila kita melihat dengan pandangan yang lebih lebar, maka kita akan menemukan banyak sekali APBN pemerintah yang bisa dialokasikan ke infrastruktur lain. Salah satunya adalah pengeluaran APBN untuk membayar bunga utang dan cicilannya yang mencapai Rp 221 triliun, terdiri atas pembayaran bunga utang Rp 154 triliun dan cicilan pokok sebesar Rp 66,9 triliun.

Utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp 2.702,29 triliun per Januari 2015 atau lebih besar dari pendapatan APBN 2015 yang besarnya Rp 1.793,6 triliun. Sebagian dari utang itu, termasuk pembayaran bunganya, merupakan obligasi rekapitalisasi, diterbitkan untuk “menyubsidi” bank-bank yang terkena dampak krisis tahun 1997, yang kini dipegang bank atau yang telah jatuh di tangan investor.

APBN dari sumber-sumber penerimaan negara yang amat melimpah semestinya perlu dilakukan secara maksimal agar pendapatan negara meningkat. Sebagai contoh, jika pengelolaan sumber daya alam negeri ini dikelola BUMN secara maksimal, nilai pendapatannya sudah sangat besar. Dari sini peran negara dituntut dalam mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang besar.

Produksi batu bara, misalnya, mencapai 421 juta ton tahun 2013. Jika harga produksi rata-rata per ton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton,  potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lainnya tembaga. Pada 2012, produksinya mencapai 2,4 juta ton. Biaya produksinya sebesar US$ 1,24 per pound dan harga jualnya sebesar US$ 3,6 per pound maka potensi pendapatannya sebesar Rp 124 triliun. (Laporan Keuangan PT Freeport McMoran, 2013). Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun, lebih dari cukup untuk menutupi belanja subsidi BBM yang nilainya Rp 291 triliun.

Angka ini akan terus membesar jika komoditas tambang yang melimpah di negara ini ikut diperhitungkan, seperti minyak bumi, gas, emas, nikel, timah, dan sebagainya. Sayang, karena menganut liberalisasi investasi, pengelolaan tambang-tambang tersebut justru diserahkan kepada swasta termasuk asing. Dampaknya, penerimaan negara dari sektor ini menjadi sangat minim dari semestinya. Pada RAPBN 2015 pendapatan sumber daya alam migas dan nonmigas hanya sebesar Rp 207 triliun dan Rp 30 triliun.


Pemerintah di bawah naungan presiden baru Jokowi-JK harus bekerja keras dalam menangani permasalahan ini. Mereka perlu mengambil alih pengelolaan migas yang saat ini sudah telanjur dikelola asing. Pengelolaan migas mutlak dikuasai negara secara penuh dan energi terbarukan pengganti BBM fosil perlu dikembangkan. Semua pihak berharap pada pemerintahan Jokowi-JK agar bisa mewujudkan revolusi migas yakni dengan mewujudkan kedaulatan migas secara nyata.

1 komentar:

  1. TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara PT Pertamina (Persero), Wianda A. Pusponegoro, mengatakan Pertamina akan menaikkan harga bahan bakar minyak nonsubsidi dalam waktu dekat ini. Jenis BBM yang akan naik itu adalah Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamina Dex.

    "Mudah-mudahan nggak terlalu lama dari sekarang," kata Wianda saat dihubungi, Kamis, 28 Mei 2015.

    Wianda tak bisa memberi tanggal pasti kapan Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi tersebut. Namun sebagai aksi korporasi, kata Wianda, biasanya penyesuaian harga BBM nonsubsidi dilakukan tiap dua pekan. Selain tak bisa menyebut waktu pasti kenaikan BBM nonsubsidi, Wianda juga tak bisa menyebut berapa angka kenaikannya.

    "Harga indeks pasar produk BBM nonsubsidi juga naik. Kami ikut pasar saja," katanya.

    Adapun untuk menghindari kekisruhan yang sempat terjadi beberapa waktu lalu saat Pertamina berencana menaikkan harga BBM nonsubsidi, Pertamina berjanji akan berkomunikasi dengan pemerintah terlebih dahulu. Dalam surat edaran Pertamina kepada semua pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum pada 14 Mei 2015, Pertamina rencananya akan menaikkan harga Pertamax dari Rp 8.800 menjadi Rp 9.600, Pertamax Plus dari Rp 10.050 menjadi Rp 10.550, dan Pertamina Dex dari Rp 11.900 menjadi Rp 12.200. Namun rencana itu dibatalkan hanya beberapa jam sebelum waktu kenaikan yang direncanakan mulai 15 Mei 2015, pukul 00.00 WIB.

    "Nggak ada salahnya. Ini juga bukan bentuk intervensi pemerintah," katanya.

    Saat ini, harga Shell Super setara Pertamax sudah mencapai Rp 9.100 di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi dan Rp 9.200 di Bandung. Harga Shell V-Power setara Pertamax Plus di Jabodetabek dan Bandung masing-masing sudah Rp 10.300 dan Rp 10.400. Sementara harga Shell Diesel setara Pertamina Dex Rp 11.800 di Jabodetabek dan Rp 11.900 di Bandung.

    BalasHapus

Berkomentarlah dengan bijak dan bertanggung jawab.

Salam, Admin.